Seni Budaya (Sejarah/Seni Rupa)

Pelukis dan Pematung
Indonesia

Helloo Gaess!! Kali ini kita bakalan membahas beberapa pelukis dan pematung dari Indonesia. Mereka merupakan pelukis dan pematung Indonesia yang pernah bahkan sering diakui karyanya oleh dunia. Oke langsung aja kita bahas yaa!

PELUKIS INDONESIA

Dalam dunia seni, pelukis adalah orang yang menciptakan karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis, istilah yang pernah populer sebagai padanan kata ini adalah ahli gambar. Hal tersebut dibuktikan dengan pernah berdirinya sebuah komunitas para pelukis Indonesia dengan nama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938. Komunitas ini bertujuan sebagai ajang belajar dan berbagi di antara para pelukis Indonesia saat itu.

1. Affandi Koesuma
Affandi adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisme dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di IndiaInggrisEropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, BarliSudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tarikny
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.

2. Basuki Abdullah
Basuki Abdullah lahir di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, pada tanggal 27 Januari 1915 dan  meninggal di Jakarta, Indonesia, pada tanggal  5 November 1993 lebih tepatnya pada umur 78 tahun. Basuki Abdullah  adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari penjuru dunia.
Bakat melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.
Pendidikan formal Basuki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).
Pada masa Pemerintahan Jepang, Basuki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basuki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basuki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basuki Resobawo.
Pada masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basuki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai pemenang.
Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basuki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basuki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.
Basuki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.
Basuki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basuki Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka dan sejak tahun 1974 Basuki Abdullah menetap di Jakarta.

3. Raden Saleh Syarif Boestaman
Raden Saleh Sjarif Boestaman lahir pada tahun 1807 atau 1811 dan meinggal pada tanggal  23 April 1880 adalah pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieendi Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Pada Jum'at pagi 23 April 1880, Saleh tiba-tiba jatuh sakit. Ia mengaku diracuni oleh salah seorang pembantunya yang dituduh Saleh telah mencuri. Namun dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aliran darahnya terhambat karena pengendapan yang terjadi dekat jatungnya. Ia dikuburkan dua hari kemudian di Kampung Empang, Bogor. Seperti yang dilaporkan koran Javanese Bode, pemakaman Raden "dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda, serta sejumlah murid penasaran dari sekolah terdekat."
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
Selama hidupnya, banyak pejabat dan bangsawan Eropa yang mengagumi Raden Saleh. Lukisannya dipesan oleh tokoh-tokoh seperti bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, di antaranya terdapat bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), dan Ridder van de Witte Valk (R.W.V.).
Pada tahun 1883, diadakan pameran lukisan Raden Saleh di Amsterdam untuk memperingati tiga tahun wafatnya Saleh, atas prakarsa Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha. Di antaranya terdapat lukisan Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan pada tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta, berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya.
Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai darinya.


PEMATUNG INDONESIA
Patung adalah benda tiga dimensi karya manusia yang diakui secara khusus sebagai suatu karya seni. Orang yang menciptakan patung disebut pematung. Tujuan penciptaan patung adalah untuk menghasilkan karya seni yang dapat bertahan selama mungkin. Karenanya, patung biasanya dibuat dengan menggunakan bahan yang tahan lama dan sering kali mahal, terutama dari perunggu dan batu seperti marmer, kapur, dan granit. Kadang, walaupun sangat jarang, digunakan pula bahan berharga seperti emas, perak, jade, dan gading. Bahan yang lebih umum dan tidak terlalu mahal digunakan untuk tujuan yang lebih luar, termasuk kayu, keramik, dan logam.
Pada masa lalu patung dijadikan sebagai berhala, simbol Tuhan atau Dewa yang disembah. Tapi seiring dengan makin rasionalnya cara berfikir manusia, maka patung tidak lagi dijadikan berhala melainkan hanya sebagai karya seni belaka. Fenomena pemberhalaan patung ini terjadi pada agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan yang politeisme seperti terjadi di Arab sebelum munculnya agama samawi. Lihat juga arca. Mungkin juga dalam Hindu kuno di India dan Nusantara, dalam agama Buddha di Asia, Konghucu, kepercayaan bangsa Mesir kuno dan bangsa Yunani kuno.

1. I Nyoman Nuarta
  
I Nyoman Nuarta lahir di Tabanan, Bali, pada tanggal 14 November 1951. Ia adalah pematung Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal lewat mahakaryanya seperti Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), serta Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya dari Institut Teknologi Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.
I Nyoman Nuarta adalah putra keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan Wirjamidjana dan Samudra. I Nyoman Nuarta tumbuh dalam didikan pamannya, Ketut Dharma Susila, seorang guru seni rupa.
Setelah lulus SMA, Nuarta masuk di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1972. Awalnya Nuarta memilih jurusan seni lukis, namun setelah menempuh dua tahun dia berpindah ke jurusan seni patung. Saat masih menjadi mahasiswa pada tahun 1979, I Nyoman Nuarta memenangkan Lomba Patung Proklamator Republik Indonesia, lomba ini adalah awal dari ketenaran I Nyoman Nuarta. Bersama rekan-rekan senimannya, seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, dan kritikus seni Jim Supangkat, Nyoman Nuarta tergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia sejak tahun 1977.
Sejak tenar, I Nyoman Nuarta yang merupakan alumni ITB tahun 1979 telah menghasilkan lebih dari seratus karya seni patung. Semua karyanya menggambarkan seni patung modern sampai gaya naturalistik, dan material yang digunakan dalam padatan patungnya adalah dari tembaga dan kuningan.
Bakat I Nyoman Nuarta di bidang seni diturunkan pada putrinya. Putri sulungnya, Tania belajar di jurusan seni rupa di salah satu Perguruan Tinggi di Melbourne, Australia, sedangkan adiknya, Tasya membantu Nuarta di studionya.
Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun sebuah Taman Patung yang diberi nama NuArt Sculpture Park. Nuarta membangun taman ini di kelurahan Sarijadi, Bandung. Puluhan beraneka bentuk patung dalam beraneka ukuran tersebar di areal seluas tiga hektare tersebut. Di taman tersebut dibangun gedung 4 lantai yang digunakan untuk pameran dan ruang pertemuan dengan gaya yang artistik.
Saat ini, Nyoman Nuarta merupakan pemilik dari Studio Nyoman Nuarta, Pendiri Yayasan Mandala Garuda Wisnu Kencana, Komisioner PT Garuda Adhimatra, Pengembang Proyek Mandala Garuda Wisnu Kencana di Bali, Komisioner PT Nyoman Nuarta Enterprise, serta pemilik NuArt Sculpture Park di Bandung. Nyoman Nuarta juga tergabung dalam organisasi seni patung internasional, seperti International Sculpture Center Washington (Washington, Amerika Serikat), Royal British Sculpture Society (London, Inggris), dan Steering Committee for Bali Recovery Program.
Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen Jalesveva Jayamahe (Surabaya), Monumen Proklamasi Indonesia (Jakarta), serta Tugu Zapin (Pekanbaru, Riau) merupakan beberapa dari mahakarya Nuarta.
Pada tahun 1993, Nuarta membuat sebuah monumen raksasa "Jalesveva Jayamahe" yang sampai sekarang masih berdiri di Dermaga Ujung Madura, Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur (Koarmatim) Kota Surabaya. Monumen tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut berbusana Pakaian Dinas Upacara (PDU) lengkap dengan pedang kehormatan yang sedang menerawang ke arah laut. Patung tersebut berdiri di atas bangunan dan tingginya mencapai 60,6 meter. Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus bangsa yang yakin dan optimis untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
Karya Nuarta yang paling besar dan paling ambisius adalah Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang dimulai sejak 8 Juni 1997 namun terhenti beberapa tahun akibat berbagai hambatan. Rencana patung GWK sendiri akan memiliki tinggi 75 meter dengan rentang sayap garuda sepanjang 64 meter, sedangkan tinggi pedestal 60 meter. Oleh karena itu, tinggi patung dan pedestal secara keseluruhan akan menjulang setinggi 126 meter.

2. Edhi Sunarso
Dilahirkan di Salatiga, 2 Juli 1932, nama Edhi Sunarso mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Namun, siapa sangka dibalik namanya yang 'tak dikenal' terlahir banyak karya fenomenal yang kerap kali ditemukan di Jakarta. Sebut saja monumen selamat datang yang ada di Bundaran Hotel Indonesia, patung Pembebasan Irian Barat yang ada di Lapangan Banteng, dan patung Dirgantara yang ada di Pancoran. Ketiga patung fenomenal tersebut merupakan contoh hasil karya tangan dingin pria yang biasa dipanggil Edhi ini.
Merupakan lulusan dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI/ ASRI) lalu melanjutkan dengan mengambil kuliah di Visva Bharanti Rabindranath Tagore University, India, Edhi memulai karirnya dengan mengabdikan diri sebagai pematung yang membuat monumen-monumen bersejarah yang dapat membangkitkan rasa nasionalis masyarakat Indonesia. Sebelumnya, jauh sebelum menjadi pematung dengan banyak karya yang fenomenal, Edhi merupakan seorang tentara yang mulai terjun ke lapangan sejak usia yang relatif muda, tujuh tahun. Ia bahkan sempat dikenal sebagai salah satu pelempar granat saat serdadu NICA (Mederlandsch Indie Civil Administratie) tengah bertandang di Indonesia. Jangan tanya mengapa, Edhi kecil yang sejak umur tujuh bulan tinggal bersama budenya secara langsung mendedikasikan dirinya sebagai tentara. Ia adalah mantan pasukan Samber Nyawa Divisi I, Batalyon III, dan Resimen V Siliwangi. 
Menjadi tentara yang tengah membela kedaulatan negeri sudah barang tentu Edhi juga mencicipi siksaan di penjara akibat ulahnya yang dianggap merisaukan. Di usia empat belas tahun dosen Pasca Sarjana ISI Jogjakarta tahun 1985-1990 ini harus mendekam di penjara dan menjadi tawanan perang tentara kerajaan Belanda atau biasa dikenal KNIL. Di sanalah Edhi mulai belajar menggambar dan memahat. Selain bakat yang dibawanya sejak kecil, Edhi juga belajar dan berlatih sendiri untuk mengasah keterampilannya. Tergolong pandai dan mumpuni, pada tahun 1950 Edhi bertemu dengan seniman Hendra Gunawan saat ia tengah mencari komandan dan sekawanan prajurit lain yang meninggalkannya menuju Bandung. 
Bukan pertemuan biasa, nyatanya pertemuan dengan Hendra Gunawan yang berhasil membawa suami dari Kustiyah ini menyelami dunia seni khususnya seni pahat lebih mendalam. Sejak saat itu ia lebih banyak bergabung dengan seniman-seniman lain dan meninggalkan statusnya sebagai tentara militer. Berbekal dengan bakat, pengalaman, dan keberuntungan, nama Edhi melejit pada tahun 1950-an. Ia dinyatakan sebagai pemenang kedua pada lomba sayembara patung sedunia yang diadakan di London tahun 1953 menyusul kemudian mendapatkan penghargaan medali emas sebagai Karya Seni Patung Terbaik, India, berturut-turut pada tahun 1956-1957.
Berkat monumen pembebasan Irian Barat, nama Edhi mulai banyak dikenal dan dipercaya memegang kendali dalam seni pahat Indonesia saat itu. Karya-karyanya dianggap selalu menarik, historis, dan nasionalis.
Kini, era tahun 50-60-an telah berakhir, perputaran jaman semakin cepat, nama Edhi pun semakin tenggelam. Meski begitu, karyanya selalu abadi di tangan pewaris kehidupan masa kini. 

3. Dolorosa Sinaga
Dolorosa Sinaga lahir di Sibolga, Sumatera Utara, Indonesia, 31 Oktober 1953 umur 60 tahun. Merupakan seorang pematung perempuan. Dolorosa Sinaga lulus dari Institut Kesenian Jakarta padatahun 1977 dan kemudian meneruskan studinya di St. Martin's School of Artn London, Karnarija Lubliyana, Yugoslavia, dan San Francisco Art Institute serta Universitas Maryland, Amerika Serikat. Karya-karya patungnya kebanyakan bercerita tentang perempuan, menyimbolkan ilusidan kesetiaan, krisis, solidaritas, mulrikultural, serta perjuangan perempuan melawan kekerasan. Dolorosa telah menerima beberapapenghargaan dan pengakuan atas prestasinya di Indonesia, diantaranya Penghargaan Citra Adhikarya Budaya dan Anugerah Seni 2009 dari Pemerintah Republik Indonesia. Ia diangkat menjadi dekan di Institut Kesenian Jakarta.
Sejak kecil, Dolo adalah seorang anak yang tomboi. Ia tidak senang bermain boneka, namun ternyata ia suka memasak. Namun diungkapkan olehnya bahwa memasak itu tidaklah hanya kemampuan wanita saja, tapi justru yang menjadi koki ahli adalah seorang pria. Namun latar belakang yang satu ini sangat berkebalikan mengingat sekarang Dolo banyak mengangkat persoalan wanita. Ternyata Mungkin saja ia ingin melesapkan seluruh energi keperempuanan yang dimilikinya melalui figure perempuan yang dibuatnya. Ia sendiri tidak mengetahui secara pasti kenapa ia sampai mengankat tema itu. Ia mengatakan bahwa dalam keringkihan, perempuan itu tetap kuat. Jadi ia membuat patung – patung perempuannya dengan struktur yang sangat kuat. Dolo ingin menyampaikan sebuah citra perempuan yang terus melawan ketidakadilan. Penindasan terhadap perempuan harus dilenyapkan dari muka bumi, karena mereka adalah mata rantai kehidupan di bumi. Sampai pada tahun 2005, hanya ada dua karya figur lelaki yang dia buat yaitu Dalai Lama dan Wiji Tukul. Perempuan - perempuan yang dibentuknya hampir semuanya memiliki bentuk tubuh yang tipis dangelung rambut yang mengingatkan pada bentuk tubuhnya sendiri. Figur - figur itu seperti berteriak, menyampaikan sesuatu yang pedih, tapi tetap terlihat artistik. Dolo mengatakan bahwa itu sebuah metafora bahwa dalam keindahan itu ada pengorbanan, ada luka, kepedihan. Tak tahu mengapa perempuan tiba-tiba menjadi fokusnya. Dari penghayatan dan pengalaman
Dolo, masalah perempuan mengambil perhatiannya. Sejakitu dia mengambil sikap dalam berkarya, dan memutuskan bahwa karya - karyanya adalah tentang perempuan, karena merekalah yang perlu dibela. Meskipun demikian dalam karya seni patung Dolorosa yang lain tampil pula beberapa patung dengan ekspresi cinta dan kelembutan seorang perempuan seperti dalam empat karyanya ibu dan anak. Hal yang saya suka dari karya Dolorosa adalah figurnya yang terlihat hidup, bergerak, segar, fleksibel, tidak kaku, seolah - olah benar - benar tertiup oleh segarnya angin. Bebas dan merdeka. Melayang laying di udara. Dolo tak tahu bagaimana ruh itu muncul dalam karya karyanya. Tapi barangkali rasionalisasinya mudah. Dolo beruntung punya pengalaman bahwa ia ditempa untuk selalu melihat dari dalam, baru keluar, bukan dari luar ke dalam. Jadi, baik dalam materi di mana semua gestur itu memberikan arti dalam ekspresi, di mana setiap struktur juga harus mendukung. Pemahaman ini ia dapat waktu belajar di Inggris. Disana, ia dididik mempelajari tubuh manusia layaknya di laboratorium. Belajar tentang bangun manusia dari Dokter ahli tulang danotot. Di studio sekolah tempat kami bekerja, proyek tentang figur ini dibuat tidak dengan medium tanah liat yang memiliki massa, melainkan dengan medium kertas. “Tapi dari situ aku paham maksudnya, bahwa studi tentang tubuh manusia membuat kita mesti menemukan bentuk, ada gagasan inovasi diajarkan di sini.”  Ujarnya dalam sebuah wawancara. Dolorosa sangat menyukai musik. Walaupun secara tidak sengaja ia kejawantahkan melodi-melodi yang berpadu, bermain, bergerak, dan mengalun itu dalam gestur karya-karyanya. Dikatakan secara tidaksengaja karena memang dari awal konsep karya sudah ada dalam kepalanya, tapi dalam pengerjaannya, ia lebih senang jika sambal mendengarkan musik. Hobinya seperti main piano dan main tennis sampai sekarang, membuat karya - karyanya menjadi lebih hidup dan memiliki kolaborasi yang baik antara spirit dan skill yang dimilikinya. Sementara itu, musik yang disukainya beragam dari musik klasik, jazz, musik tahun 1970-an sampai musik reage pun bisa dia apresiasi. Mungkin kesukaannya pada musik telah menambatkan pilihan hatinya pada Arjuna Hutagalung, yang pernah mengajar di Jurusan Musik Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), yang menjadi suaminya kini. “Selain musik, dia juga mengajarkan aku tentang asas keadilan saat melihat persoalan,” ucap Dolo yang terobsesi pada Led Zeppelin. Ia juga memberikan pendapatnya mengenai posisi karya seni di Indonesia. Menurutnya, karya seni di Indonesia masih ditempatkan pada tempat yang belum layak. Contohnya kehadiran lukisan dan patung-patung di tempat umum seperti halnya di hotel dan perkantoran. Demikian halnya dengan monumen sebagai penghias kota. Contohnya monumen atau tugu pembebasan Irian Barat tugu Selamat Datang, patung Dirgantara yang masih memperlihatkan bentuk representatif atau dengan kata lain masih dibuat dalam bentuk letter . Kreativitas seperti simbolik artistik belum termaksimalkan disana.

Sumber

Oke, cuma segini aja nih yang kita bisa bagiin ke kalian. Semoga bermanfaat yaa, mungkin lain waktu kita bisa nambahin beberapa tokoh lagi. Selain itu, tunggu juga ya postingan selanjutnya. Kalau ada yang mau request pembahasan selanjutnya, kalian bisa bilang di kolom komentar yaa!!

"Hargailah karya orang lain, selagi masih bisa menghibur kita. Dan hargailah perjuangan mereka, seperti kita menghargai diri kita sendiri." -AF

Komentar