Pelukis dan Pematung
Indonesia
Helloo Gaess!! Kali ini kita bakalan membahas beberapa pelukis dan pematung dari Indonesia. Mereka merupakan pelukis dan pematung Indonesia yang pernah bahkan sering diakui karyanya oleh dunia. Oke langsung aja kita bahas yaa!
PELUKIS INDONESIA
Dalam dunia seni, pelukis adalah orang yang menciptakan karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis, istilah yang pernah populer sebagai padanan
kata ini adalah ahli gambar.
Hal tersebut dibuktikan dengan pernah berdirinya sebuah komunitas para pelukis
Indonesia dengan nama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun
1938. Komunitas ini bertujuan sebagai ajang belajar dan berbagi di antara para
pelukis Indonesia saat itu.
1. Affandi Koesuma

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907,
putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di
pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia
termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi
orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan
selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh
segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental
mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan
namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi
menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati
dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai
pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru
dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame
bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama
digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran
tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung
pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai yang terdiri dari
Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas
Mansyur memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil
bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga
pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung
mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Bakat melukis yang menonjol pada diri
Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia
pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India,
suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba
di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa,
pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili
orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah
dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili
orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo
yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang
tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi
Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat
Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Affandi juga termasuk pimpinan
pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan
terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni
Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti
imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti
kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika,
diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di
gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra
berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok
pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang
nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa
membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan
saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke
berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka
merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai
idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk
idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna,
Gatutkaca, Bima, Krisna.

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari
2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia,
baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis
dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan
langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya,
bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan
tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor
Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai
seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga
seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh
orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi
pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tarikny
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu
kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan
teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan
corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik
bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri
dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca.
Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan
bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa
sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap
dungu dan bodoh. Sikap sang
maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara
nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai
pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang
dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa
dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong.
Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi,
melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan
elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup
punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian
di atas kepentingan keluarga. Kalau
anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap
menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari
hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.

Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an
lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya
Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya
restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga
selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan
teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar
Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga
Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai
dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan
terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu
antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa
Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil"
(Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan
KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini
Yusuf, serta Juki Affandi.
2. Basuki Abdullah
Bakat
melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga
seorang pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan
Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu
Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur 4 tahun Basuki Abdullah mulai
gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya Mahatma
Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus
Kristus dan Krishnamurti.
Pada masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di
tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal
tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu
penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basuki Abdullah
berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil keluar sebagai
pemenang.

Basuki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah
dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan
negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basuki
Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya
beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai
pelukis Istana Merdeka dan sejak tahun 1974 Basuki Abdullah menetap
di Jakarta.
3. Raden Saleh Syarif Boestaman

Raden Saleh dilahirkan dalam
sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah
Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin
Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng
Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun,
ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada
orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar
mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah
rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul
memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan
lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt,
pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan
Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan
dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan
dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk
hiasan kantor Departemen van Kolonieendi Belanda.
Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di
kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi
Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh
mendalami seni lukis Barat dan
belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis
dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas
keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun
menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa
anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda.
Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der
Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya
Raden Saleh.

Pada Jum'at pagi 23 April 1880, Saleh tiba-tiba jatuh sakit.
Ia mengaku diracuni oleh salah seorang pembantunya yang dituduh Saleh telah
mencuri. Namun dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aliran darahnya terhambat
karena pengendapan yang terjadi dekat jatungnya. Ia dikuburkan dua hari
kemudian di Kampung Empang, Bogor. Seperti yang dilaporkan koran Javanese Bode,
pemakaman Raden "dihadiri sejumlah tuan tanah dan pegawai Belanda, serta
sejumlah murid penasaran dari sekolah terdekat."
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang
mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan
(religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang
dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini
diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang
membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini
adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia
menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan
berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap
pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden
Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang
penindasan.

Pada tahun 1883, diadakan pameran lukisan Raden Saleh
di Amsterdam untuk memperingati tiga tahun wafatnya Saleh, atas
prakarsa Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha. Di
antaranya terdapat lukisan Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa,
dan Penangkapan Pangeran Diponegoro
Pada tahun 2008, sebuah kawah di
planet Merkurius dinamai darinya.
PEMATUNG INDONESIA
Patung adalah benda tiga dimensi karya manusia yang
diakui secara khusus sebagai suatu karya seni. Orang yang menciptakan
patung disebut pematung. Tujuan penciptaan patung adalah untuk
menghasilkan karya seni yang dapat bertahan selama mungkin. Karenanya, patung
biasanya dibuat dengan menggunakan bahan yang tahan lama dan sering kali mahal,
terutama dari perunggu dan batu seperti marmer, kapur,
dan granit. Kadang, walaupun sangat jarang, digunakan pula bahan berharga
seperti emas, perak, jade, dan gading. Bahan yang lebih
umum dan tidak terlalu mahal digunakan untuk tujuan yang lebih luar,
termasuk kayu, keramik, dan logam.
Pada masa lalu patung dijadikan sebagai berhala,
simbol Tuhan atau Dewa yang disembah. Tapi seiring dengan
makin rasionalnya cara berfikir manusia, maka patung tidak lagi dijadikan berhala melainkan
hanya sebagai karya seni belaka. Fenomena pemberhalaan patung ini terjadi
pada agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan yang politeisme seperti
terjadi di Arab sebelum munculnya agama samawi. Lihat juga arca.
Mungkin juga dalam Hindu kuno di India dan Nusantara,
dalam agama Buddha di Asia, Konghucu, kepercayaan bangsa Mesir kuno
dan bangsa Yunani kuno.
1. I Nyoman Nuarta
I Nyoman
Nuarta lahir di Tabanan, Bali, pada tanggal 14 November 1951. Ia adalah pematung Indonesia dan salah
satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal
lewat mahakaryanya seperti Patung Garuda Wisnu Kencana (Badung, Bali), Monumen
Jalesveva Jayamahe (Surabaya), serta Monumen Proklamasi
Indonesia (Jakarta). Nyoman Nuarta mendapatkan gelar sarjana seni rupa-nya
dari Institut Teknologi Bandung dan hingga kini menetap di Bandung.
Setelah lulus SMA, Nuarta masuk di Institut Teknologi
Bandung (ITB) tahun 1972. Awalnya Nuarta memilih jurusan seni lukis,
namun setelah menempuh dua tahun dia berpindah ke jurusan seni patung.
Saat masih menjadi mahasiswa pada tahun 1979, I Nyoman Nuarta
memenangkan Lomba Patung Proklamator Republik Indonesia, lomba ini adalah
awal dari ketenaran I Nyoman Nuarta. Bersama rekan-rekan senimannya, seperti
pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, dan kritikus
seni Jim Supangkat, Nyoman Nuarta tergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru
di Indonesia sejak tahun 1977.
Sejak tenar, I Nyoman Nuarta yang merupakan alumni ITB tahun
1979 telah menghasilkan lebih dari seratus karya seni patung. Semua
karyanya menggambarkan seni patung modern sampai gaya naturalistik, dan
material yang digunakan dalam padatan patungnya adalah dari tembaga dan kuningan.
Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun sebuah Taman
Patung yang diberi nama NuArt Sculpture Park. Nuarta membangun taman ini
di kelurahan Sarijadi, Bandung.
Puluhan beraneka bentuk patung dalam beraneka ukuran tersebar di areal seluas
tiga hektare tersebut. Di taman tersebut dibangun gedung 4 lantai yang
digunakan untuk pameran dan ruang pertemuan dengan gaya yang artistik.
Saat ini, Nyoman Nuarta merupakan pemilik dari Studio
Nyoman
Nuarta, Pendiri Yayasan Mandala Garuda Wisnu Kencana, Komisioner PT Garuda
Adhimatra, Pengembang Proyek Mandala Garuda Wisnu Kencana di Bali,
Komisioner PT Nyoman Nuarta Enterprise, serta pemilik NuArt Sculpture
Park di Bandung. Nyoman Nuarta juga tergabung dalam organisasi seni patung
internasional, seperti International Sculpture Center Washington (Washington, Amerika
Serikat), Royal British Sculpture
Society (London, Inggris), dan Steering Committee for Bali
Recovery Program.

Pada tahun 1993, Nuarta membuat sebuah monumen raksasa
"Jalesveva Jayamahe" yang sampai sekarang masih berdiri
di Dermaga Ujung Madura, Komando Armada Republik Indonesia Kawasan
Timur (Koarmatim) Kota Surabaya. Monumen
tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan
Laut berbusana Pakaian Dinas Upacara (PDU) lengkap
dengan pedang kehormatan yang sedang menerawang ke arah laut. Patung
tersebut berdiri di atas bangunan dan tingginya mencapai 60,6 meter.
Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus bangsa yang
yakin dan optimis untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
Karya Nuarta yang paling besar dan paling ambisius
adalah Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang dimulai sejak 8
Juni 1997 namun terhenti beberapa tahun
akibat berbagai hambatan. Rencana patung GWK sendiri akan memiliki tinggi 75
meter dengan rentang sayap garuda sepanjang 64 meter, sedangkan tinggi pedestal
60 meter. Oleh karena itu, tinggi patung dan pedestal secara keseluruhan akan
menjulang setinggi 126 meter.
2. Edhi Sunarso


Kini, era tahun 50-60-an telah berakhir, perputaran jaman
semakin cepat, nama Edhi pun semakin tenggelam. Meski begitu, karyanya selalu
abadi di tangan pewaris kehidupan masa kini.
3. Dolorosa Sinaga

Kesenian Jakarta (IKJ), yang menjadi suaminya kini. “Selain musik, dia juga mengajarkan aku tentang asas keadilan saat melihat persoalan,” ucap Dolo yang terobsesi pada Led Zeppelin. Ia juga memberikan pendapatnya mengenai posisi karya seni di Indonesia. Menurutnya, karya seni di Indonesia masih ditempatkan pada tempat yang belum layak. Contohnya kehadiran lukisan dan patung-patung di tempat umum seperti halnya di hotel dan perkantoran. Demikian halnya dengan monumen sebagai penghias kota. Contohnya monumen atau tugu pembebasan Irian Barat tugu Selamat Datang, patung Dirgantara yang masih memperlihatkan bentuk representatif atau dengan kata lain masih dibuat dalam bentuk letter . Kreativitas seperti simbolik artistik belum termaksimalkan disana.
Sumber
Oke, cuma segini aja nih yang kita bisa bagiin ke kalian. Semoga bermanfaat yaa, mungkin lain waktu kita bisa nambahin beberapa tokoh lagi. Selain itu, tunggu juga ya postingan selanjutnya. Kalau ada yang mau request pembahasan selanjutnya, kalian bisa bilang di kolom komentar yaa!!
"Hargailah karya orang lain, selagi masih bisa menghibur kita. Dan hargailah perjuangan mereka, seperti kita menghargai diri kita sendiri." -AF
Komentar
Posting Komentar